Antara Intelektual dan Politik
Salah satu hal menarik untuk dibicarakan setelah pesta demokrasi
adalah peran ulama atau kiai dalam ranah perpolitikan Indonesia. Banyak
ulama yang mencoba terjun ke dalam kancah politik, dengan alasan politik
sebagai media untuk dakwah.
Situasi semacam itu ternyata menjadi
sorotan masyarakat. Banyak yang mempertanyakan apakah ulama benar-benar
mampu berpolitik? Apakah dengan terjunnya ulama dalam bidang politik
dapat mengubah suasana perpolitikan di Indonesia?
Ada pendapat
yang menyatakan agar ulama mundur dari dunia politik, karena tugasnya
mengajarkan agama, pendidikan dan sosial kepada masyarakat. Politik itu
kotor, sedangkan agama itu sakral. Jangan sampai mengotori agama yang
sakral tersebut dengan politik.
Pernyataan seperti itulah yang lantas mendorong KH Miftakhul Akhyar,
Rais Syuriah PWNU Jatim angkat bicara. Menurutnya, dalam situs
Republika Online, 4 Agustus 2009, pernyataan seperti itu harus
diwaspadai oleh umat Islam khususnya warga Nahdiyin. Sebab pernyataan
seperti itu sekuler yang terselubung, berusaha mengerdilkan Islam.
Dalam
sejarah kejayaan Islam, peran intelektual sangat besar. Khalifah Islam
adalah para pemimpin yang selalu dan sangat memerhatikan masalah ilmu
pengetahuan dan keintelektualan. Di belakang khalifah adalah deretan
orang yang ahli dalam bidang masing-masing. Maka tak ayal kalau khilafah
Islamiyah bisa mencapai kejayaan karena keintelektualannya.
Peranan
ulama dahulu sebagai inspirator kemerdekaan Indonesia. Di antaranya HOS
Cokroaminoto, Dr Wahidin Sudiro Husodo, Agus Salim, KH Ahmad Dahlan, KH
Hasyim Asyari, Ki Hajar Dewantoro, M Natsir dan sejumlah ulama serta
intelektual lainnya.
Pendapat yang berusaha untuk memisahkan
intelektual dengan politik sebenarnya pendapat yang sekuler. Pendapat
yang mengotomi politik itu sendiri. Politik dinilai sebagai sesuatu yang
hina, sehingga agama yang sifatnya suci tidak diperbolehkan masuk.
Politisi
boleh bohong tapi tidak boleh salah, ilmuwan tidak boleh bohong tapi
boleh salah adalah jargon yang banyak membuat ilmuwan atau ulama yang
terjun di dunia politik kehilangan arah tujuannya.
Bila hal
seperti ini terus terjadi dan berkembang di dalam dunia intelektual,
maka akan menjadi momok bagi ulama maupun ilmuwan. Akhirnya mereka akan
makin jauh dari dunia politik, sehingga terciptalah sebuah negara yang
sekuler. Negara yang asas pemikirannya selalu berlandaskan untung dan
rugi, tanpa menghiraukan etika dan moral.
Maka kita perlu
mempersandingkan kembali antara intelektual dengan politik, keduanya
saling melengkapi. Politik tidak akan terkontrol tanpa adanya kehadiran
intelektual. Politik yang busuk adalah politik yang tanpa dilandasi
intelektual. Politik dianggap kotor dan kejam karena tidak dikawal
dengan intelektual. Jadi kehadiran intelektual dalam dunia politik
sangatlah penting. Keduanya tidak bisa dan tidak boleh dipisahkan.
Sekarang
ini Indonesia tengah dilanda krisis politikus yang intelek, sehingga
elite politik banyak yang tidak bermoral. Kekuasaan dalam pikirannya
hanyalah sebuah alat untuk meraih kenikmatan dunia. Pemilu baginya
hanyalah ajang perlombaan antara menang dan kalah.
Maka, tidak
bisa disalahkan kalau Indonesia tidak bisa bangkit lagi seperti zaman
perjuangan dulu. Tokoh elite politiknya tidak sebobot dengan politikus
dulu. Contohnya, Soekarno dan Hatta. Mereka adalah tokoh politik dan
juga tokoh intelektual.
Sekarang Indonesia perlu berbenah diri
kembali. Indonesia perlu mencetak generasi penerus politikus yang akan
memikirkan bangsa dengan politikus yang intelek.
Indonesia
memerlukan pemimpin yang bisa memadukan antara intelektual dan politik,
sehingga dapat bangkit kembali dari penjajahan dan keterpurukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar